Donderdag 06 Junie 2013

SEJARAH PENDIDIKAN ISLAM


A. Latar Belakang Masalah
Peradaban Islam adalah terjemahan dari kata Arab al-Hadharah al-Islamiyyah. Kata Arab ini sering juga diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan kebudayaan Islam. “Kebudayaan” dalam bahasa Arab adalah al-Tsaqafah. Di Indonesia, sebagaimana juga di Arab dan Barat, masih banyak orang yang mensinonimkan dua kata “Kebudayaan” dan “Peradaban”. Dalam perkembangan ilmu antropologi sekarang, kedua istilah itu di bedakan. Kebudayaan adalah bentuk ungkapan tentang semangat mendalam suatu masyarakat. Sedangkan, manifestasi-manifestasi kemajuan mekanisme dan teknologis lebih berkaitan dengan peradaban. Kalau lebih banyak direfkeksikan dalam seni, sastra, religi (agama), dan moral, maka peradaban terefleksi dalam politik, ekonomi, dan teknologi.[1]
B. Rumusan Masalah
Ada banyak masalah yang perlu di kaji berkaitan dengan Peradaban Islam di Irak, antara lain :
1.    Kapan Pemerintahan Islam masuk ke Irak?
2.    Kapan Dinasti Abbasiyah didirikan?
3.    Siapa pendiri Dinasti Abbasiyah?
4.    Kemajuan apa yang dicapai pada masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah?
C. Tujuan dan Manfaat
1.   Mengetahui Sejarah Peradaban Islam di Irak
2.   Mengetahui perkembangan Islam di Irak
3.   Meneladani tokoh-tokoh Islam di Irak
4.   Mengambil Ibrah dari Sejarah Peradaban Islam di Irak


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Sejarah Masuknya Pemerintahan Islam di Irak
            Republik Irak terletak di sebelah Barat Daya Benua Asia. Ibu kota Irak adalah Bagdad. Negara ini memiliki luas wilayah lebih kurang sekitar 438.317 km. Jumlah penduduknya berdasarkan data statistik tahun 1419H/1998 M mencapai 25.000.000 jiwa, dengan persentase kaum muslimin sebanyak 97 %, sebagian adalah pengikut Sunni dan sebagian lainnya adalah pengikut Syi’ah, yang sebagian besar berada di wilayah selatan. Di samping itu, juga terdapat sedikit orang orang Nasrani dan Yahudi. Sumber daya alam terbesar dalam menopang keuangan negaranya berasal dari minyak bumi.[2]
            Irak merupakan sebuah negeri yang sangat tinggi peradabannya, karena di negeri ini telah berdiri sejumlah peradaban kono klasik. Di antaranya peradaban Sumerian (3700-2350 SM), Kekaisaran Akkadiyah I (2350-2200 SM), kekaisaran Babilonia (1895-1595 SM) yang diserang oleh al-kasyi, kemudian kekaisaran Asyuriyah (1153-612 SM), yang diserang oleh Persia, Hailini dan Romawi (539 SM-635 M)[3]
            Sejak keberhasilan pasukan Sa’ad bin Abi Waqqash menguasai Qadisiyah pada tahun 14 H/ 635 M, maka sejak saat itu Irak berada dalam wilayah pemerintahan Islam. Dengan demikian, berakhirlah sejarah kekaisaran Persia. Dalam perjalan selanjutnya, Irak kemudian tunduk di bawah raja-raja Islam, seperti Dinasti Umayah dan Abbasiyah.[4]
            Pada mulanya, ibu kota Irak adalah Al-Hasyimiyah, dekat Kufah. Namun, untuk lebih memantapkan dan menjaga stabilitas negara yang baru berdiri itu, Al- Manshur memindahkan ibu kota negara ke kota yang baru dibangunnya, Bagdad, dekat bekas ibo kota Persia, Ctesiphon, tahun 762 M.[5]



B.     Pendiri Dinasti Abbasiyah
Pendiri kekhalifahan Abbasiyah adalah Abu Abbas as-Saffah. Dibawah kepemimpinan Abu Abbas, pasukan Bani Abbasiyah berhasil mengalahkan tentara Bani umayyah. Abu Abbas naik takhta dan mulai berkuasa pada tahun 750 M. Ia memerintah hingga 775 M.[6]
Dalam khotbah penobatannya, yang disampaikan setahun sebelumnya di mesjid Kufah, khalifah Abbasiyah pertama itu menyebut dirinya as-saaffih, penumpah darah, yang kemudian menjadi julukannya. Untuk pertama kalinya dalam sejarah islam, di sisi singgasana khalifah tergelar karpet yang digunakan sebagai tempat eksekusi. As-Saffah menjadi pendiri dinasti Arab Islam ketiga setelah Khulafa Ar-Rasyidin dan Dinasti Umayah, yang sangat besar dan berusia lama. Dari 750 M hingga 1258 M.[7]
          As-saffah meninggal dunia pada tahun 775 M karena penyakit cacar air, ketika berusia 30-an. Saudaranya yang juga penerusnya, Abu Ja’far yang mendapat julukan Al-Manshur adalah khalifah terbesar Dinasti Abbasiyah. Meskipun bukan seorang muslim yang saleh, dialah sebenarnya, bukan as-saffah yang benar-benar membangun dinasti baru itu. Seluruh khalifah yang berjumlah 35 orang berasal dari garir keturunannya.
          Masa kejayaan Abbasiyah terletak pada khalifah setelah As-saffah, bahwa masa keemasan (Golden Prime) Abbasiyah terletak pada 10 khalifah. Kesepuluh khalifah tersebut : As-Saffah (750), Al-Manshur (754), Al-Mahdi (775), Al-Hadi (785), Ar-Rasyid (786), Al-Amin (809), Al-Ma’mun (813), Al-Mu’tashim (833), Al-Watsiq (842), dan Al-Mutawakkil (847).[8]
          Dinasti Abbasiyah, seperti halnya dinasti lain dalam sejarah Islam, mencapai masa kejayaan politik dan intelektual mereka setelah didirikan. Kekhalifahan Bagdad yang didirikan oleh As-Saffah dan Al-Manshur mencapai masa keemasannya antara masa khalifah ketiga, Al-Mahdi, dan Khalifah kesembilan, Al-Watsiq, dan lebih khususnya lagi pada masa Harun Ar-Rasyid dan anaknya, Al-Ma’mun. Karena kehebatan dua khalifah itulah, Dinasti Abbasiyah memiliki kesan baik dalam ingatan publik, dan menjadi dinasti paling terkenal dalam sejarah Islam.

C. Kemajuan yang dicapai Pada Masa Dinasti Abbasiyah
Dinasti Bani Abbasiyah yang berkuasa sejak tahun 132-656 H/ 750-1258 M, merupakan dinasti Islam yang paling berhasil dalam mengembangkan peradaban Islam. Keberhasilan menciptakan pemikiran kreatif dan menghasilkan karya yang monumental dalam bidang ilmu pengetahuan, peradaban Islam, sosial budaya dan sebagainya, tidak pernah lepas dari kebijakan-kebijakan khalifah dan peran para tokoh. Para tokoh inilah yang menjadi ujung tombak didalam pengembangan ilmu pengetahuan dan peradaban Islam serta kemajuan sosial budaya.[9]
1.    Kemajuan Dalam Bidang Sosial Budaya
Selama masa pemerintahan Dinasti Bani Abbasiyah (750-1258 M), banyak perkembangan yang terjadi, di antaranya adalah perkembangan bahkan kemajuan dalam bidang sosial budaya. Diantara perkembangan itu adalah bidang :
a.    Seni bangunan dan arsitektur :
·      Seni bangunan arsitektur mesjid
Masjid merupakan bangunan tempat ibadah umat islam yang merupakan wakil paling menonjol dari arsitektur islam. Oleh karena itu, mesjid merupakan seni arsitektur islam yang tidak ada tandingannya. Arsitektur Islam yang berkembang pada masa dinasti Bani Abbasiyah masih mengacu pada perkembangan seni arsitektur pada masa-masa sebelumnya, yakni pada masa Nabi, Khulafaur Rasyidin, dan masa Bani Umayyah. Salah satu bangunan Masjid yang didirikan pada masa pemerintahan Bani Abbas adalah bangunan Masjid Samarra, di Baghdad. Masjid ini sangat indah yang mewakili keindahan seni arsitektur pada jamannya. Masjid ini dilengkapi oleh Shan, sebuah lengkungan menyerupai bentuk piring. Sekeliling pinggir Shan dilengkapi dengan serambi-serambi. Pada setiap sudut masjid didirikan mercu berbentuk bulat yang terbuat dari batu bata. Umumnya masjid tidak menggunakan daun pintu, begitu juga Masjid Samarra. Pintu-pintu terbuka ini berujung pada satu titik. Dengan demikian, terlihat barisan pintu yang berbentuk kerucut.[10]
Hal penting lainnya dari gaya dan seni arsitektur Masjid Samarra adalah tiang-tiang yang dipasang beratap lengkungan. Tinag-tiang tersebut dibangun dengan menggunakan batu bata. Tiang-tiang yang dibangun itu berbentuk segi delapan dan didirikan diatas dasar segi empat. Kemudian dasar-dasar ini ditopang oleh tiang-tiang dari marmar bersegi delapan.
Kemudian disambungkan ke bagian lain dengan menggunakan logam atau besi berbentuk lonceng. Masjid ini merupakan bangunan yang dimiliki seni arsitektur sangat megah pada jamannya.
Selain masjid Samarra yang memiliki seni arsitektur bangunan yang luar biasa Masjid Ibnu Thulun juga memiliki keistimewaan dari segi seni bangunan atau arsitekturnya. Masjid ini didirikan pada tahun 876 oleh Ahmad bin Thulun, salah seorang penguasa di Mesir.
·      Seni bangunan Kota
Seni bangunan islam yang pada mulanya hanya sederhana yang menjelma dalam bentuk Masjid, kemudian berangsur-angsur merambah ke seni bangunan lainnya, setelah umat islam memperoleh pengetahuan dan teknik dari tenaga ahli dari wilayah-wilayah menjadi kekuasaan islam.
Pembangunan kota-kota baru dan pembaharuan kota-kota diseluruh wilayah pemerintahan Bani Abbasiyah, telah membuka jalan bagi pembangunan gedung-gedung, istana, Masjid dan sebagainya. Diantara sekian kota yang dibangun dalam masa pemerintahan Bani Abbasiyah adalah kota Baghdad, yang di bangun oleh Abu Ja`far al-Manshur. Tempat yang dipilih untuk membangun kota itu adalah lokasi ditepi sungai Eufrate ( furat) dan Dajlah ( Tigris ). Pembangunan ini diarsiteki Hajjaz bin Arthah dan Amran bin Wadldlah, dua arsitektur terkenal saat itu. Tenaga kerja yang diperlukan dalam pembangunan kota ini sekitar 100.000 orang.
Arsitektur kota Baghdad berbentuk bundar, gaya baru dari seni bangunan kota Islam. Di pusat kota, dibangun istana Khalifah dan masjid jami`. Disekeliling istana dan masjid terdapat alun-alun, selain ada asrama pengawal, rumah komandan pengawal dan rumah kepala polisi. Disekitar pemukiman itu, barulah dibangun rumah-rumah untuk para putra Khalifah dan kerabatnya, para pegawai dan para inang pengasuh istana. Setelah itu barulah dibangun istana-istana para menteri dan pembesar lainnya.
Disekeliling kota, dibangun pagar tembok yang sangat kuat dan tinggi, dengan empat pintu masuk dari empat penjuru. Selain itu, kota dihiasi dan dilengkapi dengan taman-taman bunga, kolam pemandian, ribuan Masjid dan berbagai tempat rekreasi.selain itu, pembagian kota dilakukan secara teratur, ada daerah perumahan, daerah pasar, daerah industri dan sebagainya.[11] Masing-masing daerah memiliki perangkat yang dibutuhkan bagi pembangunan dan pengembangan daerah tersebut.
Istana yang dibangun oleh Khalifah al-Manshur dipusat kota bernama Qashru al Dzahab    (istana keemasan) yang luasnya sekitar 160.000 hasta persegi. Sedangkan mesjid jami` didepannya memiliki luas areal sekitar 40.000 hasta persegi istana dan mesjid tersebut merupakan simbol pusat kota. Dari setiap sudut perempatannya terdapat jalan raya utama ke arah luar kota. Dikiri kanan jalan tersebut dibangun gedung-gedung indah dan bertingkat.
Dalam waktu yang relatif singkat, Baghdad menjadi kota yang ramai dikunjungi berbagai lapisan masyarakat dari seluruh penjurunya. Oleh karena itu, sekitar tahun 157 H, Khalifah al-Manshur membangun istana baru di luar kota yang diberi nama Istana abadi (Qashrul Khuldi). Khalifah al-Manshur membagi kota baghdad menjadi empat daerah, yang masing-masing daerah dikuasai oleh seorang naib Amir ( wakil gubernur ) dan tiap-tiap daerah diberi hak mengurusi daerah sendiri, yaitu daerah yang otonom.
2.    Perkembangan dan Kemajuan Bahasa dan Sastra
Perkembangan seni bahasa dan kesusastraan, baik puisi maupun prosa mengalami kemajuan yang cukup berarti. Hal itu disebabkan karena bahasa dan kesusastraan merupakan salah satu perhatian besar para penguasa Bani Abbas dan juga para ahli bahasa dan seniman.[12]
a.    Perkembangan puisi
Para penyair pada masa pemerintahan Bani Umayyah, masih kental dalam mempertahankan keaslian warna Arabnya, sehingga mereka menghindari filsafat, bahkan apa saja yang bukan asli Arab. Sedangkan para sastrawan pada zaman pemerintahan Bani Abbas, telah melakukan perubahan kebiasaan tersebut. Oleh karena itu, wajar kalau kemudian pada masa pemerintahan Abbas banyak bermunculan penyair terkenal. Di antara mereka adalah :
·      Abu Nuwas (145-198 H)
·      Abu ‘Athahiyah (130-211 H)
·      Abu Tamam (wafat 232 H)
·      Da’bal al-Khuza’i (wafat 246 H)
·      Al-Buhtury (206-285 H)
·      Ibnu Rumy (221-283 H)
·      Al-Mutanabby (303-354 H)
b.    Perkembangan prosa
 Diantara tokoh dan pengarang terkemuka pada masa Dinasti Abbas, sebagai berikut :
·         Abdullah bin Muqaffa (wafat tahun 143 H)  
·         Abdul Hamid al-Khatib
·         Al-Jahidh (wafat 255 H)
·         Ibnu Qutaibah (wafat 276 H)
·         Ibnu Abdi  Rabbih (wafat 328)
3. Perkembangan Seni Musik
   Pada umumnya orang Arab memiliki bakat musik, sehingga seni suara atau seni musik menjadi suatu keharusan bagi mereka sejak zaman jahiliah. Setelah mereka masuk Islam, bakat musik terus berkembang dengan jiwa dan semangat baru. Al-Qur’an dengan bahasanya yang sangat indah memberi nafas baru bagi musik Arab, bahkan mendorong mereka untuk mengembangkan bakat musiknya.Karya dan pemikiran seniman tersebut merupakan bentuk dari rasa cinta mereka terhadap Islam. Hal itu diawali dari :
a.      Penyusunan kitab musik
Kegiatan penerjemahan yang dilakukan oleh umat Islam ketika itu tidak hanya terbatas dalam bidang ilmu pengetahuan, sains, dan filsafat, juga mencakup karya-karya musik. Karya musik yang mereka terjemahkan menambah wawasan pengetahuan mereka tentang musik, sehingga lambat laun mereka mampu menciptakan karya musik Islam. Bahkan dengan kemampuan yang mereka miliki, mereka mampu menciptakan karya baru dan menyempurnakan karya lama. Sehingga seni musik ini menjadi khazanah peradaban umat Islam. Diantara para pengarang kitab musik adalah sebagai berikut :[13]
·         Yunus bin Sulaiman (wafat tahun 765 M)
·         Khalil bin Ahmad (wafat tahun 791 M)
·         Ishak bin Ibrahim al-Mousuly (wafat tahun 850 M)
·         Hunain bin Ishak (wafat tahun 873 M)
·         Al-Farabi

b.      Pendidikan Musik
Para khalifah dan pembesar istana Bani Abbas memiliki perhatian yang sangat besar terhadap musik. Untuk kepentingan itu, banyak didirikan lembaga pendidikan musik. Sekolah musik yang paling baik adalah sekolah musik yang didirikan oleh Sa’aduddin Mukmin (wafat 1294 M). Karyanya berjudul Syarafiya menjadi bahan rujukan dan dikagumi masyarakat musik di dunia Barat.
Di antara latar belakang penyebab maraknya lembaga pendidikan musik bermunculan pada masa pemerintahan dinasti Abbasiyah adalah karena kemampuan bermain musik menjadi salah satu syarat untuk menjadi pegawai atau untuk memperoleh pekerjaan di lembaga pemerintahan.
4. Kemajuan Dalam Bidang Pendidikan
Pada masa pemerintahan Bani Abbas, kegiatan pendidikan dan pengajaran mencapai kemajuan yang gemilang. Sebagian khalifah Abbasiyah merupakan orang berpendidikan. Pendidikan tingkat dasar diselenggarakaan di masjid-masjid, dimana Al-Qur’an merupakan bahan rujukan wajib. Selain itu, terdapat juga kegiatan pendidikan dan pengajaran dirumah-rumah penduduk dan di tempat-tempat umum lainnya, misalnya, maktab, Terdapat juga sejumlah lembaga sekolah masjid-masjid, seperti zawiyah, hanqah, dan lain-lain. Menurut keterangan yang ada, terdapat 30.000 masjid yang sebagian besar dipergunakan sebagai lembaga pendidikan dan pengajaran tingkat dasar.
Pendidikan pada masa pemerintahan Bani Abbas tidak hanya diikuti oleh anak-anak pada tingkat dasar saja, juga terdapat pendidikan tingkat menengah dan tingkat tinggi, seperti Baitul Hikmah dan nidzamiyah yang tidak hanya ada di Bagdad, juga ada di Persia. Madrasah ini didirikan oleh Nizam al-Mulk, seorang wazir Sultan Saljuk antara tahun 1065-1067 M dan merupakan pusat lembaga pendidikan agama yang terbesar pada masa dinasti Abbasiyah.
Kurikulum pendidikan pada tingkat dasar terdiri dari pelajaran membaca, menulis, tata bahasa, hadis, prinsip-prinsip dasar matematika dan pelajaran syair. Sedangkan pendidikan tingkat menengah terdiri dari  pelajaran tafsir Al-Qur’an, pembahasan kandungan Al-Qur’an, sunah Nabi, fiqh dan ushul fiqh, kajian ilmu kalam (teologi), ilmu mantiq (retorika) dan kesusastraan. Kaum terpelajar tingkat tinggi mengadakan pengkajian dan penelitian mandiri di bidang astronomi, geografi dunia, filsafat, geometri, musik dan kedokteran.
5. Kemajuan Dalam Ilmu Pengetahuan
          Dinasti Abbasiyah yang berkuasa sekitar lima abad lebih, merupakan salah satu dinasti Islam yang sangat peduli dalam upaya pengembangan ilmu pengetahuan dan peradaban Islam. Upaya pengembangan ini mendapat tanggapan atau respons yang sangat baik dari pada ilmuan. Sebab dinasti Bani Abbasiyah telah menyiapkan segalanya untuk kepentingan tersebut. Di antara fasilitas yang diberikan adalah pembangunan pusat-pusat riset dan terjemah, seperti Baitul Hikmah, majlis munadzarah, dan pusat-pusat studi lainnya, seperti zawiyah, hanqah, kuttab dan lainnya bahkan perguruan tinggi berupa madrasah nidzamiyah.
          Bidang ilmu pengetahuan yang berkembang pada masa itu antara lain sebagai berikut :
a.    Filsafat
Proses penerjemahan yang dilakukan umat Islam pada masa pemerintahan dinasti Bani Abbasiyah, mengalami kemajuan cukup besar. Para penerjemah saat itu tidak hanya menerjemahkan ilmu pengetahuan dan peradaban bangsa-bangsa Yunani, Romawi, Persia, India, Syiria saja, juga mencoba mentransfernya kedalam bentuk pemikiran. Proses ini biasanya disebut dengan istilah Hellenisasi. Diantara tokoh yang mmberikan andil cukup penting di dalam perkembangan ilmu dan filsafat Islam adalah :[14]
·         Al-Kindi (185-260 H/ 801-873 M)
·         Abu Nasr al-Faraby (258-339 H/ 870-950 M)
·         Ibnu Sina (370-428 H/ 980-1073 M)
·         Ibnu Bajjah (wafat 533 H/ 1138 M)
·         Ibnu Thufail (wafat 581 H/ 1186 M.
·         Al-Ghazali (1059-1111 M)
·         Ibnu Rusyd (520-595 H/ 1126-1196 M)

b.    Imu Kalam
Menurut A. Hasymy, lahirnya ilmu kalam karena dua faktor: pertama untuk membela Islam dengan bersenjatakan filsafat. Seperti halnya musuh memakai senjata itu. Kedua, karena semua masalah, termasuk masalah agama, telah berkisar dari pola rasa kepada pola akal dan ilmu. Diantara para pelopor ilmu kalam yang terbesar yaitu : Washil bin Atha, Baqillani, Asyary, Ghazali, Sajastani dan lain-lain. 
Selain ilmu-ilmu agama yang telah berkembang pada masa Bani Abbasiyah, seperti dijelaskan terdahulu, juga terdapat ilmu-ilmu lain yang juga tidak kalah pentingnya yang berkembang saatitu, seperti ilmu qiraat, ilmu bahasa, sastra, tata bahasa, ilmu tasawuf.
c.    Ilmu Kedokteran
Ilmu kedokteran merupakan salah satu ilmu yang mengalami perkembangan yang sangat pesat pada masa Bani Abbasiyah. Pada masa itu telah didirikan apotek yang pertama kali didunia yaitu tempat menjual obat. Disamping itu juga telah didirikan sekolah farmasi. Sekolah kedokteran lengkap dengan rumah sakit sehingga menjadi lembaga yang menggabungkan penyembuhan dengan pengajaran obat-obatan, farmakologi, dan bidang-bidang yang terkait.
Tokoh-tokoh Islam yang terkenal dalam dunia kedokteran, antara lain adalah al-Razi. Ia adalah seorang ahli fikir asli dan ahli klinik. Ia dianggap sebagai orang yang menemukan benal pontanel untuk dipergunakan dalam ilmu bedah. Karangan al-Razi yang terpenting adalah al-hawi yang di terjemahkan kedalam bahasa Latin tahun 1279 M. Nama lain yang gemilang di dunia kedokteran ialah Ibnu Sina. Karangannya yang berbentuk ensiklopedia al-Qanun fi al-Thibb, yang diterjemahkan orang dengan nama Canon, dianggap sebagai bahan terbaik dalam bidang kedokteran di perguruan-perguruan Eropa.
d.    Ilmu Kimia
Ilmu Kimia juga termasuk salah satu ilmu pengetahuan yang di kembangkan kaum muslimin. Dalam bidang ini mereka memperkenalkan eksperimen obyektif, hal ini merupakan suatu perbaikan yang tegas dari cara spekuasi yang ragu-ragu dari Yunani. Mereka melakukan pemeriksaan dari gejala-gejala dan mengumpulkan kenyataan-kenyataan untuk membuat hipotesa dan untuk mencari kesimpulan-kesimpulan yang benar-benar berdasarkan ilmu pengetahuan.
Diantara tokoh kimia adalah Jabir bin Hayyan. Ia berpendapat bahwa logam sepeti timah, besi dan tembaga dapat diubah menjadi emas atau perak dengan menggunakan obat rahasia. Ia pun mencurahkan seluruh tenaganya untuk meneliti hal itu. Ia mengetahui cara membuat asam belerang, asam sendawa dan aqua regia yang dapat menghancurkan emas dan perak. Selain itu ia telah memperbaiki teori Aristoteles mengenai campuran logam, sehingga teori-teori itu berlaku hingga zaman permulaan ilmu kimia modern.
e.    Matematika
Diantara ilmu yang lain dikembangkan pada masa pemerintahan Bani Abbasiyah adalah adalah ilmu hisab atau matematika. Pada mulanya, ilmu matematika yang dikembangkan umat Islam berasal dari berbagai saduran atau terjemahan karya bangsa Yunani-Romawi dan India. Pengetahuan umat Islam dalam bidang matematika diperkaya dengan warisan ilmu dari India, misalnya buku berjudul Zij al-Shindhind yang diterjemahkan dan disadur oleh Muhammad bin Ibrahim al-Fazari. Ringkasan dari buku ini kemudian disadur dan dikembangkan oleh Muhammad bin Musa al-Khawarizmi menjadi sebuah ilmu hitung atau matematika bidang al-Jabar, yang mengabdikan namanya dalam ilmu logaritma. Diantara penemuan itu adalah penemuan angka nol, satu dua, dan seterusnya, yang dikenal dengan sebutan nomer atau angka Arab (Arabic Numeric).
f.      Sejarah
Dalam perkembangan awal, para ilmuan atau sejarawan tidak hanya menjadikan hadis berupa perkataan dan perbuatan Nabi Muhammad saw, dalam menentukan suatu hukum, juga masalah kronologis atau rangkaian peristiwa tertentu. Dari sinilah lahir karya besar yang ditulis oleh sejarawan keenam, misal Muhammad bin Ishaq. Ia berhasil menyusun kitab Sirat al- Nabawiyah li Ibn Hisyam.
g.    Imu Bumi
Ahli ilmu bumi pertama dalam sejarah Islam adalah Hisyam al-Kalbi, yang termashur abad ke-9 M, khususnya dalam studinya mengenai kawasan Arab. Upaya al-Kalbi kemudian diikuti Muhammad bin Musa al-khawarizmi, ia melakukan revisi mengenai teori Ptolemeaus tentang geografi. Bersama 70 orang ahli bumi, ia membuat peta dunia (globe) pertama pada tahun 830 M.
h.    Astronomi
Tokoh Astronomi Islam pertama adalah Muhammad al-Fazani. Ia mengoreksi tabel yang ada berdasarkan teks astronomi India Shiddanta yang ditulis oleh Brahmanagupta.Ia juga mengarang syair astronomi dan dikenal sebagai pembuat astrolob atau alat yang dipergunakan untuk mempelajari ilmu perbintangan pertama dikalangan muslim.
6. Kemajuan Ilmu Pengetahuan Agama
a. Ilmu Hadis
Diantara tokoh yang terkenal di bidang ini adalah Imam al-Bukhari. Nama aslinya adalah Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim al-Mughirah bin Mardizah al-Bukhari. Dalam usahanya untuk mengumpulkan hadis-hadis, Imam Bukhari melakukan perjalanan ilmiah mulai dari Balkh, Naisabur, Rai Bagdad, Bashra, Kuffah, Mekah, Madinah, Mesir, Damaskus, Hims, dan Qaisariyah. Dari perjalan ilmiahnya ini, Ia menghasilkan sebuah karya dalam bidang ilmu hadis yang sangat monumental, yaitu kitab al-Jami’ al-Shahih al-Bukhari.
b.  Ilmu Tafsir
          Pada masa pemerintahan dinasti Bani Abbasiyah, dan masa-masa sebelumnya, Al-Qur’an sudah menjadi sumber bacaan bermacam-macam ilmu. Sebagai contoh, para ahli bahasa menitikberatkan kaidah-kaidah Nahwu dalam Al-Qur’an. Di antara tokoh-tokoh mufassir bi al-ma’tsur adalah Imam al-Thabary, al-Suda, Muqatil bin Sulaiman.
c.  Ilmu Fiqh
          Dalam bidang fiqh, para fuqaha, yaitu ahli ilmu fiqh yang ada pada masa Bani Abbasiyah, mampu menyusun kitab-kitab fiqh terkenal hingga saat ini, misalnya, Imam Abu Hanifah, ia menyusun kitab Musnad al-Imam al-‘A’dam atau fiqh al-Akbar, Imam Malik menysusun kitab al-Muwatha, Imam Syafi’i menyusun kitab al-Um dan al-Fiqh al-Akbar fi al-Tauhid, Ibn Hanbal menyusun kitab al-Musnad.[15]
     
           














Geen opmerkings nie:

Plaas 'n opmerking