A. Latar Belakang
Masalah
Peradaban
Islam adalah terjemahan dari kata Arab al-Hadharah al-Islamiyyah. Kata Arab ini
sering juga diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan kebudayaan Islam.
“Kebudayaan” dalam bahasa Arab adalah al-Tsaqafah. Di Indonesia, sebagaimana
juga di Arab dan Barat, masih banyak orang yang mensinonimkan dua kata
“Kebudayaan” dan “Peradaban”. Dalam perkembangan ilmu antropologi sekarang,
kedua istilah itu di bedakan. Kebudayaan adalah bentuk ungkapan tentang
semangat mendalam suatu masyarakat. Sedangkan, manifestasi-manifestasi kemajuan
mekanisme dan teknologis lebih berkaitan dengan peradaban. Kalau lebih banyak
direfkeksikan dalam seni, sastra, religi (agama), dan moral, maka peradaban
terefleksi dalam politik, ekonomi, dan teknologi.[1]
B. Rumusan Masalah
Ada banyak masalah yang perlu di
kaji berkaitan dengan Peradaban Islam di Irak, antara lain :
1. Kapan
Pemerintahan Islam masuk ke Irak?
2.
Kapan Dinasti Abbasiyah didirikan?
3. Siapa
pendiri Dinasti Abbasiyah?
4. Kemajuan
apa yang dicapai pada masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah?
C. Tujuan dan Manfaat
1. Mengetahui Sejarah
Peradaban Islam di Irak
2. Mengetahui perkembangan Islam di Irak
3. Meneladani tokoh-tokoh Islam di Irak
4. Mengambil Ibrah dari Sejarah Peradaban Islam
di Irak
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah
Masuknya Pemerintahan Islam di Irak
Republik Irak terletak di sebelah
Barat Daya Benua Asia. Ibu kota Irak adalah Bagdad. Negara ini memiliki luas
wilayah lebih kurang sekitar 438.317 km. Jumlah penduduknya berdasarkan data
statistik tahun 1419H/1998 M mencapai 25.000.000 jiwa, dengan persentase kaum
muslimin sebanyak 97 %, sebagian adalah pengikut Sunni dan sebagian lainnya
adalah pengikut Syi’ah, yang sebagian besar berada di wilayah selatan. Di
samping itu, juga terdapat sedikit orang orang Nasrani dan Yahudi. Sumber daya
alam terbesar dalam menopang keuangan negaranya berasal dari minyak bumi.[2]
Irak merupakan sebuah negeri yang
sangat tinggi peradabannya, karena di negeri ini telah berdiri sejumlah
peradaban kono klasik. Di antaranya peradaban Sumerian (3700-2350 SM),
Kekaisaran Akkadiyah I (2350-2200 SM), kekaisaran Babilonia (1895-1595 SM) yang
diserang oleh al-kasyi, kemudian kekaisaran Asyuriyah (1153-612 SM), yang
diserang oleh Persia, Hailini dan Romawi (539 SM-635 M)[3]
Sejak keberhasilan pasukan Sa’ad bin
Abi Waqqash menguasai Qadisiyah pada tahun 14 H/ 635 M, maka sejak saat itu
Irak berada dalam wilayah pemerintahan Islam. Dengan demikian, berakhirlah
sejarah kekaisaran Persia. Dalam perjalan selanjutnya, Irak kemudian tunduk di
bawah raja-raja Islam, seperti Dinasti Umayah dan Abbasiyah.[4]
Pada mulanya, ibu kota Irak adalah
Al-Hasyimiyah, dekat Kufah. Namun, untuk lebih memantapkan dan menjaga
stabilitas negara yang baru berdiri itu, Al- Manshur memindahkan ibu kota
negara ke kota yang baru dibangunnya, Bagdad, dekat bekas ibo kota Persia,
Ctesiphon, tahun 762 M.[5]
B. Pendiri
Dinasti Abbasiyah
Pendiri kekhalifahan Abbasiyah
adalah Abu Abbas as-Saffah. Dibawah kepemimpinan Abu Abbas, pasukan Bani
Abbasiyah berhasil mengalahkan tentara Bani umayyah. Abu Abbas naik takhta dan
mulai berkuasa pada tahun 750 M. Ia memerintah hingga 775 M.[6]
Dalam khotbah penobatannya, yang
disampaikan setahun sebelumnya di mesjid Kufah, khalifah Abbasiyah pertama itu
menyebut dirinya as-saaffih, penumpah darah, yang kemudian menjadi julukannya.
Untuk pertama kalinya dalam sejarah islam, di sisi singgasana khalifah tergelar
karpet yang digunakan sebagai tempat eksekusi. As-Saffah menjadi pendiri
dinasti Arab Islam ketiga setelah Khulafa Ar-Rasyidin dan Dinasti Umayah, yang
sangat besar dan berusia lama. Dari 750 M hingga 1258 M.[7]
As-saffah meninggal dunia pada tahun
775 M karena penyakit cacar air, ketika berusia 30-an. Saudaranya yang juga
penerusnya, Abu Ja’far yang mendapat julukan Al-Manshur adalah khalifah
terbesar Dinasti Abbasiyah. Meskipun bukan seorang muslim yang saleh, dialah
sebenarnya, bukan as-saffah yang benar-benar membangun dinasti baru itu.
Seluruh khalifah yang berjumlah 35 orang berasal dari garir keturunannya.
Masa kejayaan Abbasiyah terletak pada
khalifah setelah As-saffah, bahwa masa keemasan (Golden Prime) Abbasiyah
terletak pada 10 khalifah. Kesepuluh khalifah tersebut : As-Saffah (750),
Al-Manshur (754), Al-Mahdi (775), Al-Hadi (785), Ar-Rasyid (786), Al-Amin
(809), Al-Ma’mun (813), Al-Mu’tashim (833), Al-Watsiq (842), dan Al-Mutawakkil
(847).[8]
Dinasti Abbasiyah, seperti halnya
dinasti lain dalam sejarah Islam, mencapai masa kejayaan politik dan
intelektual mereka setelah didirikan. Kekhalifahan Bagdad yang didirikan oleh
As-Saffah dan Al-Manshur mencapai masa keemasannya antara masa khalifah ketiga,
Al-Mahdi, dan Khalifah kesembilan, Al-Watsiq, dan lebih khususnya lagi pada
masa Harun Ar-Rasyid dan anaknya, Al-Ma’mun. Karena kehebatan dua khalifah
itulah, Dinasti Abbasiyah memiliki kesan baik dalam ingatan publik, dan menjadi
dinasti paling terkenal dalam sejarah Islam.
C. Kemajuan yang dicapai Pada Masa Dinasti Abbasiyah
Dinasti Bani Abbasiyah yang berkuasa
sejak tahun 132-656 H/ 750-1258 M, merupakan dinasti Islam yang paling berhasil
dalam mengembangkan peradaban Islam. Keberhasilan menciptakan pemikiran kreatif
dan menghasilkan karya yang monumental dalam bidang ilmu pengetahuan, peradaban
Islam, sosial budaya dan sebagainya, tidak pernah lepas dari
kebijakan-kebijakan khalifah dan peran para tokoh. Para tokoh inilah yang
menjadi ujung tombak didalam pengembangan ilmu pengetahuan dan peradaban Islam
serta kemajuan sosial budaya.[9]
1. Kemajuan
Dalam Bidang Sosial Budaya
Selama
masa pemerintahan Dinasti Bani Abbasiyah (750-1258 M), banyak perkembangan yang
terjadi, di antaranya adalah perkembangan bahkan kemajuan dalam bidang sosial
budaya. Diantara perkembangan itu adalah bidang :
a.
Seni
bangunan dan arsitektur :
·
Seni
bangunan arsitektur mesjid
Masjid
merupakan bangunan tempat ibadah umat islam yang merupakan wakil paling
menonjol dari arsitektur islam. Oleh karena itu, mesjid merupakan seni
arsitektur islam yang tidak ada tandingannya. Arsitektur Islam yang berkembang
pada masa dinasti Bani Abbasiyah masih mengacu pada perkembangan seni
arsitektur pada masa-masa sebelumnya, yakni pada masa Nabi, Khulafaur Rasyidin,
dan masa Bani Umayyah. Salah satu bangunan Masjid yang didirikan pada masa
pemerintahan Bani Abbas adalah bangunan Masjid Samarra, di Baghdad. Masjid ini
sangat indah yang mewakili keindahan seni arsitektur pada jamannya. Masjid ini
dilengkapi oleh Shan, sebuah lengkungan menyerupai bentuk piring. Sekeliling
pinggir Shan dilengkapi dengan serambi-serambi. Pada setiap sudut masjid
didirikan mercu berbentuk bulat yang terbuat dari batu bata. Umumnya masjid
tidak menggunakan daun pintu, begitu juga Masjid Samarra. Pintu-pintu terbuka
ini berujung pada satu titik. Dengan demikian, terlihat barisan pintu yang
berbentuk kerucut.[10]
Hal
penting lainnya dari gaya dan seni arsitektur Masjid Samarra adalah tiang-tiang
yang dipasang beratap lengkungan. Tinag-tiang tersebut dibangun dengan
menggunakan batu bata. Tiang-tiang yang dibangun itu berbentuk segi delapan dan
didirikan diatas dasar segi empat. Kemudian dasar-dasar ini ditopang oleh
tiang-tiang dari marmar bersegi delapan.
Kemudian
disambungkan ke bagian lain dengan menggunakan logam atau besi berbentuk
lonceng. Masjid ini merupakan bangunan yang dimiliki seni arsitektur sangat
megah pada jamannya.
Selain
masjid Samarra yang memiliki seni arsitektur bangunan yang luar biasa Masjid
Ibnu Thulun juga memiliki keistimewaan dari segi seni bangunan atau
arsitekturnya. Masjid ini didirikan pada tahun 876 oleh Ahmad bin Thulun, salah
seorang penguasa di Mesir.
· Seni bangunan Kota
Seni
bangunan islam yang pada mulanya hanya sederhana yang menjelma dalam bentuk
Masjid, kemudian berangsur-angsur merambah ke seni bangunan lainnya, setelah
umat islam memperoleh pengetahuan dan teknik dari tenaga ahli dari
wilayah-wilayah menjadi kekuasaan islam.
Pembangunan
kota-kota baru dan pembaharuan kota-kota diseluruh wilayah pemerintahan Bani
Abbasiyah, telah membuka jalan bagi pembangunan gedung-gedung, istana, Masjid
dan sebagainya. Diantara sekian kota yang dibangun dalam masa pemerintahan Bani
Abbasiyah adalah kota Baghdad, yang di bangun oleh Abu Ja`far al-Manshur.
Tempat yang dipilih untuk membangun kota itu adalah lokasi ditepi sungai
Eufrate ( furat) dan Dajlah ( Tigris ). Pembangunan ini diarsiteki Hajjaz bin
Arthah dan Amran bin Wadldlah, dua arsitektur terkenal saat itu. Tenaga kerja
yang diperlukan dalam pembangunan kota ini sekitar 100.000 orang.
Arsitektur
kota Baghdad berbentuk bundar, gaya baru dari seni bangunan kota Islam. Di
pusat kota, dibangun istana Khalifah dan masjid jami`. Disekeliling istana dan
masjid terdapat alun-alun, selain ada asrama pengawal, rumah komandan pengawal
dan rumah kepala polisi. Disekitar pemukiman itu, barulah dibangun rumah-rumah
untuk para putra Khalifah dan kerabatnya, para pegawai dan para inang pengasuh
istana. Setelah itu barulah dibangun istana-istana para menteri dan pembesar
lainnya.
Disekeliling
kota, dibangun pagar tembok yang sangat kuat dan tinggi, dengan empat pintu
masuk dari empat penjuru. Selain itu, kota dihiasi dan dilengkapi dengan
taman-taman bunga, kolam pemandian, ribuan Masjid dan berbagai tempat
rekreasi.selain itu, pembagian kota dilakukan secara teratur, ada daerah
perumahan, daerah pasar, daerah industri dan sebagainya.[11]
Masing-masing daerah memiliki perangkat yang dibutuhkan bagi pembangunan dan
pengembangan daerah tersebut.
Istana
yang dibangun oleh Khalifah al-Manshur dipusat kota bernama Qashru al Dzahab (istana
keemasan) yang luasnya sekitar 160.000 hasta persegi. Sedangkan mesjid jami`
didepannya memiliki luas areal sekitar 40.000 hasta persegi istana dan mesjid
tersebut merupakan simbol pusat kota. Dari setiap sudut perempatannya terdapat
jalan raya utama ke arah luar kota. Dikiri kanan jalan tersebut dibangun
gedung-gedung indah dan bertingkat.
Dalam
waktu yang relatif singkat, Baghdad menjadi kota yang ramai dikunjungi berbagai
lapisan masyarakat dari seluruh penjurunya. Oleh karena itu, sekitar tahun 157
H, Khalifah al-Manshur membangun istana baru di luar kota yang diberi nama
Istana abadi (Qashrul Khuldi). Khalifah al-Manshur membagi kota baghdad menjadi
empat daerah, yang masing-masing daerah dikuasai oleh seorang naib Amir ( wakil
gubernur ) dan tiap-tiap daerah diberi hak mengurusi daerah sendiri, yaitu
daerah yang otonom.
2. Perkembangan
dan Kemajuan Bahasa dan Sastra
Perkembangan seni bahasa dan
kesusastraan, baik puisi maupun prosa mengalami kemajuan yang cukup berarti.
Hal itu disebabkan karena bahasa dan kesusastraan merupakan salah satu
perhatian besar para penguasa Bani Abbas dan juga para ahli bahasa dan seniman.[12]
a.
Perkembangan
puisi
Para penyair
pada masa pemerintahan Bani Umayyah, masih kental dalam mempertahankan keaslian
warna Arabnya, sehingga mereka menghindari filsafat, bahkan apa saja yang bukan
asli Arab. Sedangkan para sastrawan pada zaman pemerintahan Bani Abbas, telah
melakukan perubahan kebiasaan tersebut. Oleh karena itu, wajar kalau kemudian
pada masa pemerintahan Abbas banyak bermunculan penyair terkenal. Di antara
mereka adalah :
· Abu
Nuwas (145-198 H)
· Abu
‘Athahiyah (130-211 H)
· Abu
Tamam (wafat 232 H)
· Da’bal
al-Khuza’i (wafat 246 H)
· Al-Buhtury
(206-285 H)
· Ibnu
Rumy (221-283 H)
· Al-Mutanabby
(303-354 H)
b.
Perkembangan
prosa
Diantara tokoh dan pengarang terkemuka pada
masa Dinasti Abbas, sebagai berikut :
·
Abdullah bin Muqaffa (wafat tahun 143
H)
·
Abdul Hamid al-Khatib
·
Al-Jahidh (wafat 255 H)
·
Ibnu Qutaibah (wafat 276 H)
·
Ibnu Abdi Rabbih (wafat 328)
3.
Perkembangan Seni Musik
Pada
umumnya orang Arab memiliki bakat musik, sehingga seni suara atau seni musik
menjadi suatu keharusan bagi mereka sejak zaman jahiliah. Setelah mereka masuk
Islam, bakat musik terus berkembang dengan jiwa dan semangat baru. Al-Qur’an
dengan bahasanya yang sangat indah memberi nafas baru bagi musik Arab, bahkan
mendorong mereka untuk mengembangkan bakat musiknya.Karya dan pemikiran seniman
tersebut merupakan bentuk dari rasa cinta mereka terhadap Islam. Hal itu
diawali dari :
a. Penyusunan kitab musik
Kegiatan
penerjemahan yang dilakukan oleh umat Islam ketika itu tidak hanya terbatas
dalam bidang ilmu pengetahuan, sains, dan filsafat, juga mencakup karya-karya
musik. Karya musik yang mereka terjemahkan menambah wawasan pengetahuan mereka
tentang musik, sehingga lambat laun mereka mampu menciptakan karya musik Islam.
Bahkan dengan kemampuan yang mereka miliki, mereka mampu menciptakan karya baru
dan menyempurnakan karya lama. Sehingga seni musik ini menjadi khazanah
peradaban umat Islam. Diantara para pengarang kitab musik adalah sebagai
berikut :[13]
·
Yunus bin Sulaiman (wafat tahun 765 M)
·
Khalil bin Ahmad (wafat tahun 791 M)
·
Ishak bin Ibrahim al-Mousuly (wafat
tahun 850 M)
·
Hunain bin Ishak (wafat tahun 873 M)
·
Al-Farabi
b. Pendidikan Musik
Para
khalifah dan pembesar istana Bani Abbas memiliki perhatian yang sangat besar
terhadap musik. Untuk kepentingan itu, banyak didirikan lembaga pendidikan
musik. Sekolah musik yang paling baik adalah sekolah musik yang didirikan oleh Sa’aduddin Mukmin (wafat 1294 M).
Karyanya berjudul Syarafiya menjadi bahan rujukan dan dikagumi masyarakat musik
di dunia Barat.
Di
antara latar belakang penyebab maraknya lembaga pendidikan musik bermunculan
pada masa pemerintahan dinasti Abbasiyah adalah karena kemampuan bermain musik
menjadi salah satu syarat untuk menjadi pegawai atau untuk memperoleh pekerjaan
di lembaga pemerintahan.
4. Kemajuan Dalam Bidang Pendidikan
Pada masa pemerintahan Bani Abbas,
kegiatan pendidikan dan pengajaran mencapai kemajuan yang gemilang. Sebagian
khalifah Abbasiyah merupakan orang berpendidikan. Pendidikan tingkat dasar
diselenggarakaan di masjid-masjid, dimana Al-Qur’an merupakan bahan rujukan
wajib. Selain itu, terdapat juga kegiatan pendidikan dan pengajaran
dirumah-rumah penduduk dan di tempat-tempat umum lainnya, misalnya, maktab, Terdapat juga sejumlah lembaga
sekolah masjid-masjid, seperti zawiyah,
hanqah, dan lain-lain. Menurut
keterangan yang ada, terdapat 30.000 masjid yang sebagian besar dipergunakan
sebagai lembaga pendidikan dan pengajaran tingkat dasar.
Pendidikan pada masa pemerintahan Bani
Abbas tidak hanya diikuti oleh anak-anak pada tingkat dasar saja, juga terdapat
pendidikan tingkat menengah dan tingkat tinggi, seperti Baitul Hikmah dan nidzamiyah yang
tidak hanya ada di Bagdad, juga ada di Persia. Madrasah ini didirikan oleh Nizam al-Mulk, seorang wazir Sultan
Saljuk antara tahun 1065-1067 M dan merupakan pusat lembaga pendidikan agama
yang terbesar pada masa dinasti Abbasiyah.
Kurikulum pendidikan pada tingkat dasar
terdiri dari pelajaran membaca, menulis, tata bahasa, hadis, prinsip-prinsip
dasar matematika dan pelajaran syair. Sedangkan pendidikan tingkat menengah
terdiri dari pelajaran tafsir Al-Qur’an,
pembahasan kandungan Al-Qur’an, sunah Nabi, fiqh dan ushul fiqh, kajian ilmu kalam (teologi), ilmu mantiq (retorika) dan
kesusastraan. Kaum terpelajar tingkat tinggi mengadakan pengkajian dan
penelitian mandiri di bidang astronomi, geografi dunia, filsafat, geometri,
musik dan kedokteran.
5. Kemajuan Dalam Ilmu Pengetahuan
Dinasti Abbasiyah yang berkuasa
sekitar lima abad lebih, merupakan salah satu dinasti Islam yang sangat peduli
dalam upaya pengembangan ilmu pengetahuan dan peradaban Islam. Upaya
pengembangan ini mendapat tanggapan atau respons yang sangat baik dari pada
ilmuan. Sebab dinasti Bani Abbasiyah telah menyiapkan segalanya untuk
kepentingan tersebut. Di antara fasilitas yang diberikan adalah pembangunan
pusat-pusat riset dan terjemah, seperti Baitul
Hikmah, majlis munadzarah, dan
pusat-pusat studi lainnya, seperti zawiyah,
hanqah, kuttab dan lainnya bahkan perguruan tinggi berupa madrasah nidzamiyah.
Bidang ilmu pengetahuan yang
berkembang pada masa itu antara lain sebagai berikut :
a.
Filsafat
Proses
penerjemahan yang dilakukan umat Islam pada masa pemerintahan dinasti Bani
Abbasiyah, mengalami kemajuan cukup besar. Para penerjemah saat itu tidak hanya
menerjemahkan ilmu pengetahuan dan peradaban bangsa-bangsa Yunani, Romawi,
Persia, India, Syiria saja, juga mencoba mentransfernya kedalam bentuk
pemikiran. Proses ini biasanya disebut dengan istilah Hellenisasi. Diantara tokoh yang mmberikan andil cukup penting di
dalam perkembangan ilmu dan filsafat Islam adalah :[14]
·
Al-Kindi (185-260 H/ 801-873 M)
·
Abu Nasr al-Faraby (258-339 H/ 870-950
M)
·
Ibnu Sina (370-428 H/ 980-1073 M)
·
Ibnu Bajjah (wafat 533 H/ 1138 M)
·
Ibnu Thufail (wafat 581 H/ 1186 M.
·
Al-Ghazali (1059-1111 M)
·
Ibnu Rusyd (520-595 H/ 1126-1196 M)
b.
Imu
Kalam
Menurut
A. Hasymy, lahirnya ilmu kalam karena dua faktor: pertama untuk membela Islam
dengan bersenjatakan filsafat. Seperti halnya musuh memakai senjata itu. Kedua,
karena semua masalah, termasuk masalah agama, telah berkisar dari pola rasa
kepada pola akal dan ilmu. Diantara para pelopor ilmu kalam yang terbesar yaitu
: Washil bin Atha, Baqillani, Asyary,
Ghazali, Sajastani dan lain-lain.
Selain
ilmu-ilmu agama yang telah berkembang pada masa Bani Abbasiyah, seperti
dijelaskan terdahulu, juga terdapat ilmu-ilmu lain yang juga tidak kalah
pentingnya yang berkembang saatitu, seperti ilmu qiraat, ilmu bahasa, sastra,
tata bahasa, ilmu tasawuf.
c. Ilmu Kedokteran
Ilmu
kedokteran merupakan salah satu ilmu yang mengalami perkembangan yang sangat
pesat pada masa Bani Abbasiyah. Pada masa itu telah didirikan apotek yang
pertama kali didunia yaitu tempat menjual obat. Disamping itu juga telah
didirikan sekolah farmasi. Sekolah kedokteran lengkap dengan rumah sakit
sehingga menjadi lembaga yang menggabungkan penyembuhan dengan pengajaran
obat-obatan, farmakologi, dan
bidang-bidang yang terkait.
Tokoh-tokoh
Islam yang terkenal dalam dunia kedokteran, antara lain adalah al-Razi. Ia adalah seorang ahli fikir
asli dan ahli klinik. Ia dianggap sebagai orang yang menemukan benal pontanel untuk dipergunakan dalam
ilmu bedah. Karangan al-Razi yang terpenting adalah al-hawi yang di terjemahkan kedalam bahasa Latin tahun 1279 M. Nama
lain yang gemilang di dunia kedokteran ialah Ibnu Sina. Karangannya yang
berbentuk ensiklopedia al-Qanun fi
al-Thibb, yang diterjemahkan orang dengan nama Canon, dianggap sebagai
bahan terbaik dalam bidang kedokteran di perguruan-perguruan Eropa.
d.
Ilmu
Kimia
Ilmu
Kimia juga termasuk salah satu ilmu pengetahuan yang di kembangkan kaum
muslimin. Dalam bidang ini mereka memperkenalkan eksperimen obyektif, hal ini
merupakan suatu perbaikan yang tegas dari cara spekuasi yang ragu-ragu dari
Yunani. Mereka melakukan pemeriksaan dari gejala-gejala dan mengumpulkan
kenyataan-kenyataan untuk membuat hipotesa dan untuk mencari
kesimpulan-kesimpulan yang benar-benar berdasarkan ilmu pengetahuan.
Diantara
tokoh kimia adalah Jabir bin Hayyan.
Ia berpendapat bahwa logam sepeti timah, besi dan tembaga dapat diubah menjadi
emas atau perak dengan menggunakan obat rahasia. Ia pun mencurahkan seluruh
tenaganya untuk meneliti hal itu. Ia mengetahui cara membuat asam belerang,
asam sendawa dan aqua regia yang dapat menghancurkan emas dan perak. Selain itu
ia telah memperbaiki teori Aristoteles mengenai campuran logam, sehingga
teori-teori itu berlaku hingga zaman permulaan ilmu kimia modern.
e.
Matematika
Diantara
ilmu yang lain dikembangkan pada masa pemerintahan Bani Abbasiyah adalah adalah
ilmu hisab atau matematika. Pada mulanya, ilmu matematika yang dikembangkan
umat Islam berasal dari berbagai saduran atau terjemahan karya bangsa
Yunani-Romawi dan India. Pengetahuan umat Islam dalam bidang matematika
diperkaya dengan warisan ilmu dari India, misalnya buku berjudul Zij al-Shindhind yang diterjemahkan dan
disadur oleh Muhammad bin Ibrahim
al-Fazari. Ringkasan dari buku ini kemudian disadur dan dikembangkan oleh
Muhammad bin Musa al-Khawarizmi menjadi sebuah ilmu hitung atau matematika
bidang al-Jabar, yang mengabdikan namanya dalam ilmu logaritma. Diantara
penemuan itu adalah penemuan angka nol, satu dua, dan seterusnya, yang dikenal
dengan sebutan nomer atau angka Arab (Arabic
Numeric).
f.
Sejarah
Dalam
perkembangan awal, para ilmuan atau sejarawan tidak hanya menjadikan hadis
berupa perkataan dan perbuatan Nabi Muhammad saw, dalam menentukan suatu hukum,
juga masalah kronologis atau rangkaian peristiwa tertentu. Dari sinilah lahir
karya besar yang ditulis oleh sejarawan keenam, misal Muhammad bin Ishaq. Ia
berhasil menyusun kitab Sirat al-
Nabawiyah li Ibn Hisyam.
g.
Imu
Bumi
Ahli
ilmu bumi pertama dalam sejarah Islam adalah Hisyam al-Kalbi, yang termashur
abad ke-9 M, khususnya dalam studinya mengenai kawasan Arab. Upaya al-Kalbi
kemudian diikuti Muhammad bin Musa al-khawarizmi, ia melakukan revisi mengenai
teori Ptolemeaus tentang geografi.
Bersama 70 orang ahli bumi, ia membuat peta dunia (globe) pertama pada tahun 830 M.
h.
Astronomi
Tokoh
Astronomi Islam pertama adalah Muhammad al-Fazani. Ia mengoreksi tabel yang ada
berdasarkan teks astronomi India Shiddanta
yang ditulis oleh Brahmanagupta.Ia
juga mengarang syair astronomi dan dikenal sebagai pembuat astrolob atau alat yang dipergunakan untuk mempelajari ilmu
perbintangan pertama dikalangan muslim.
6. Kemajuan Ilmu Pengetahuan Agama
a. Ilmu
Hadis
Diantara tokoh yang terkenal di bidang
ini adalah Imam al-Bukhari. Nama aslinya adalah Abdullah Muhammad bin Ismail
bin Ibrahim al-Mughirah bin Mardizah al-Bukhari. Dalam usahanya untuk
mengumpulkan hadis-hadis, Imam Bukhari melakukan perjalanan ilmiah mulai dari Balkh, Naisabur, Rai Bagdad, Bashra, Kuffah,
Mekah, Madinah, Mesir, Damaskus, Hims, dan Qaisariyah. Dari perjalan
ilmiahnya ini, Ia menghasilkan sebuah karya dalam bidang ilmu hadis yang sangat
monumental, yaitu kitab al-Jami’ al-Shahih
al-Bukhari.
b. Ilmu
Tafsir
Pada
masa pemerintahan dinasti Bani Abbasiyah, dan masa-masa sebelumnya, Al-Qur’an
sudah menjadi sumber bacaan bermacam-macam ilmu. Sebagai contoh, para ahli
bahasa menitikberatkan kaidah-kaidah Nahwu
dalam Al-Qur’an. Di antara tokoh-tokoh mufassir
bi al-ma’tsur adalah Imam al-Thabary,
al-Suda, Muqatil bin Sulaiman.
c.
Ilmu Fiqh
Dalam
bidang fiqh, para fuqaha, yaitu ahli
ilmu fiqh yang ada pada masa Bani Abbasiyah, mampu menyusun kitab-kitab fiqh
terkenal hingga saat ini, misalnya, Imam Abu Hanifah, ia menyusun kitab Musnad al-Imam al-‘A’dam atau fiqh al-Akbar,
Imam Malik menysusun kitab al-Muwatha,
Imam Syafi’i menyusun kitab al-Um dan
al-Fiqh al-Akbar fi al-Tauhid, Ibn
Hanbal menyusun kitab al-Musnad.[15]
Geen opmerkings nie:
Plaas 'n opmerking